Sunday, March 29, 2009

Di mana Keteladananmu?

"Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1Tim. 4:12)

29 April 2000, di dalam sebuah acara KKR anak muda yang diadakan di salah satu gereja presbyterian di Solo, saya bertobat. Percaya kepada Tuhan Yesus dan menerimanya menjadi Tuhan dan Juruselamat. Saya mengakui dosa, berdoa dan meminta Yesus Kristus untuk masuk ke dalam hidup dan hati saya serta mengubahkannya.

Selang setahun kurang, tepatnya 8 April 2001, saya mengaku percaya di hadapan jemaat Tuhan sebagai saksinya, setelah mengikuti kelas katekisasi yang ada. Ayat di atas, terus berusaha saya ingat, bahkan saya tulis di lembaran putih terakhir Alkitab saya bagian belakang. Di hari-hari pelayanan saya saat ini, ayat itu terus terngiang-ngiang di dalam pikiran dan hati saya, semakin keras dan semakin keras, bahkan saya merasa semakin berat. Supaya saya menjadi teladan!

Saya boleh saja menjadi hamba Tuhan yang super sibuk melayani, menjadi hamba Tuhan yang super dalam pengetahuan teologi, menjadi hamba Tuhan layaknya superman. Tetapi tanpa keteladanan, di mata Tuhan dan jemaat-Nya saya tidak lagi bisa menjadi kesaksian yang hidup.
Teladan, sesuatu yang nampaknya sederhana memang, tetapi di dalamnya mengandung sesuatu yang sangat luar biasa. Luar biasa berjuang keras untuk menjadi teladan, bahkan dalam hal-hal yang kecil, namun juga akan menjadi luar baisa memberikan kesaksian dan pengaruh bagi setiap orang yang melihat, mendengar dan hidup bersama-sama di dalam pelayanan.

Di dalam perenungan saya, seringkali muncul pertanyaan, "Di mana keteladananmu?" Bukan hanya kepada dan di hadapan umat Tuhan yang adalah orang-orang kunci di gereja, bukan hanya pada saat dilihat oleh orang-orang saja, dan bukan pula hanya sekadar memenuhi '"tuntutan dinas" belaka. Apalagi jika harus menjadi teladan di saat usia ini masih muda. Mungkin. . ., mungkin saja akan lebih "mudah" belajar keteladanan dari seorang yang sudah sepuh, berwibawa dan tentunya sudah banyak makan asam garam kehidupan. Namun rupanya firman Tuhan tidak berkata demikian! Bahkan di dalam kemudaan, saya sebagai pria yang masih "bau kencur" pun, firman-Nya mengatakan jadilah teladan! Sebenarnya bukan "hanya" karena saya menjadi hamba-Nya dan dituntut untuk menjadi contoh, namun juga karena saya adalah anak dan murid-Nya, berarti saya harus hidup seperti Bapa saya dan Guru saya hidup.

Woowww. . .!!! Perkara mudah? Bukan, dalam pikiran saya! Namun, saya harus belajar tekun dan taat, mulai dari yang terkecil, bagaimana saya menjaga integritas kehiduan saya, di hadapan Tuhan dan orang lain. Biarlah ini terus menjadi PR bagi saya, juga bagi kita semua. Rupanya ayat yang diberikan pendeta saya tanggal 8 April 2001 itu tidak salah, tepat, tepat sekali untuk mempersiapkan saya. Medan yang terbuka sudah di depan mata, saya harus terus tekun dan taat, serta bertekad untuk bisa menjadi teladan, bukan semata karena kata dan tuntutan orang, tetapi sesuai dengan standar firman Allah.
"Di mana keteladananmu?" Aku akan berusaha mengerjakannya dengan setia!

Minggu, 29 Maret 2009

Ketika kita mengucapkan kata, "Sampai jumpa lagi!" atau, "Selamat jalan!" apa yang kita rasakan? Apakah rasa sedih yang tak rela melepaskan yang berarti akan kehilangan? Apakah rasa "puas" karena ada kenikmatan tersendiri melihat rival beratnya pergi? Ataukah mungkin bersikap biasa saja bahkan tidak mau tahu? Akan ada banyak reaksi yang muncul dari setiap kita ketika perpisahan itu harus dihadapi di depan mata. Bagi saya perpisahan itu memunculkan sesuatu rasa tersendiri, ya . . . 29 Maret 2009! Dua orang rekan pelayanan telah menyelesaikan tugas pelayanannya di tempat kami bersama-sama melayani, di ibu kota Jawa Tengah ini.

Sebuah nyanyian yang dilantunkan VG Remaja-Madya, tarian yang dikemas dengan style anak muda dengan soundtrack salah satu grup parodi terkenal di Indonesia, menjadi persembahan dari kami, teman-teman kecilmu (Remaja dan Madya). Satu hal yang dipesankan oleh teman-teman dari komisi ini, "Jangan lupakan kami, ya. . .!" Itu menjadi sebuah teriakan kecil dari hati kami, karena apa yang engkau lakukan tergores dengan indah dalam kehidupan kami, anak-anak didikmu.

Bagiku, rekan pelayanan itu sangat penting! Memberikan banyak pelajaran-pelajaran bersama dalam kehidupan. Banyak waktu dilalui bersama: bekerjasama, mendukung, bercanda, bahkan tak luput juga dengan yang namanya curiga dan kesal. Tapi ketika hari itu tiba, hanya satu yang kurasa, . . . SEPI. Seepiii. . .!!!

"Wah bakalan tambah repot nih," suara dalam batinku berkata. Tapi kurikulum pembelajaran yang begitu banyak aku dapatkan dari kedua rekanku ini. Di dalam kesabarannya, di dalam keberanian serta keuletannya, pokoknya. . . banyaklah! Aku hanya bisa mengucapkan selamat kepadamu, rekan-rekanku! Mungkin kita tidak melayani dalam satu area yang sama, tetapi di dalam Kerajaan-Nya, kita terus melayani bersama-sama. Mungkin aku akan semakin kerepotan, bisa jadi, tapi mungkin itu juga bisa menjadi ketakutanku belaka.

Maju terus pantang mundur, buatmu saudaraku dan untukmu saudariku!
Biarlah Tuhan dipermuliakan lewat pelayanan kita bersama di mana pun berada.

Friday, March 27, 2009

Pemuda dan Tantangan Sekularisme

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Rm. 12:2)


Seorang budayawan ternama dalam sebuah diskusi tentang masa depan sekularisme mengatakan, “agama memiliki sembilan nyawa, begitu juga sekularisme.” Bisa dikatakan ungkapan ini merupakan sebuah bentuk optimisme dan juga kritik terhadap dua teori besar yang berkembang selama ini. Yaitu teori pertama yang menyatakan bahwa dunia kita sedang menuju kepada satu titik di mana agama-agama tradisional tidak lagi punya tempat. Masa depan umat manusia adalah masa depan dunia sekular, masa depan sekularisme. Teori kedua adalah respons dari teori pertama itu. Teori ini menyatakan bahwa tesis tentang sekularisasi tak lagi bisa dipertahankan. Dunia kita bukannya sedang mengarah kepada satu titik yang sekular, tapi justru kepada titik di mana agama-agama menjalani kebangkitannya. Terlepas dari kebenaran ungkapan budayawan dan kedua teori di atas, yang seharusnya menjadi pertanyaan bagi kita adalah bagaimana kekristenan berperan? Secara khusus di bulan kaum muda ini adalah, bagaimana peran generasi muda Kristen dalam menghadapi berbagai tantangan sekularisme yang ada?

Sekularisme secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah ideologi yang memperjuangkan bahwa dunia ini punya otonomi sendiri (oto: sendiri; nomos: hukum). Jadi pihak agama jangan pernah ikut campur tangan masalah yang berhubungan dengan hal-hal dunia, misalnya masalah politik dan pemerintahan. Agama seharusnya hanya mengatur masalah hubungan manusia secara pribadi dengan Allah. Itulah sebabnya negara-negara Eropa sangat getol menerapakan sekularisme, karena sebelum masa "Aufklarung" (Pencerahan), dengan ideologi teokrasinya, Gereja dianggap terlalu mengurusi semua bidang kehidupan. Akibatnya Galileo hampir mati konyol karena punya teori yang berbeda dengan pandangan gereja. Jadi pada mulanya, sekularisme dapat dimengerti sebagai reaksi balik atas teokrasi Gereja yang berlebihan.

Namun sekarang sekularisme mengambil wajah yang sangat beragam, yang sangat menarik perhatian, khususnya di dunia generasi muda. Hingga sekarang muncul banyak pertanyaan, “Kenapa anak muda jarang datang ke persekutuan? Apa yang harus kita lakukan?” Pada akhirnya, yang seringkali kita lakukan untuk menghadapi tantangan ini adalah bersaing dengan dunia. Bagaimana caranya? Misalnya: dunia mempunyai bioskop, maka kita juga membuat pertunjukan film. Dunia sering membuat konser musik yang menyita banyak pasang mata, maka kita juga membuat konser musik rohani. Jadi sebenarnya apa yang kita lakukan adalah bersaing dengan dunia. Mungkin kita bisa berhasil dengan membuat suatu acara yang sangat menarik, misalnya membuat suatu pertunjukan kejutan. Namun akhirnya, kita hanya berusaha sampai mati-matian, dengan tak habis-habisnya berpikir bagaimana membuat suatu acara yang lebih menarik dari acara yang sebelumnya, yang sudah menarik itu. Apakah benar demikian?

Seharusnya tidak! Yang perlu dilakukan kaum muda Kristen dalam menghadapi beratnya arus tantangan sekularisme adalah back to basic, yaitu kembali kepada firman Tuhan. Bukan bersaing dengan dunia dan menjadi seolah-olah “serupa” dengan dunia, namun pemuda Kristen harus mengejar Christ Likeness, keserupaan Kristus. Kita tidak mungkin bersaing dengan entertainment yang ditawarkan oleh dunia, maka kita harus kembali kepada apa yang Tuhan ingin kita lakukan di dalam kehidupan. Yaitu berpusat kepada Kristus untuk mewarnai dunia. “Tidak menjadi serupa dengan dunia” tidak dapat diartikan bahwa kaum muda Kristen berarti harus hidup terpisah dengan dunia, yaitu hidup menyendiri tanpa bersinggungan dengan hal-hal yang duniawi. Jelas ini tidak mungkin! Tujuan Allah, melalui Yesus Kristus untuk menebus manusia dari dosa adalah menguduskan (mengkhususkan) setiap orang yang percaya kepada-Nya untuk menjadi serupa dengan Dia bagi (for) dunia, untuk (for) mewarnai dunia, menjadi saksi bagi (for) dunia. Jadi bukan menguduskan dan memisahkannya dari (from) dunia.

Ini adalah PR yang harus kita lakukan sebagai generasi muda Kristen. Bagaimana setiap bagian kegiatan yang ada di gereja adalah untuk mengejar keserupaan dengan Kristus. Bukan sekadar ikut-ikutan dengan apa yang “lagi hot,” yang terjadi di luar sana, namun bagaimana menjadi generasi muda yang tetap memiliki identitas Kristus di tengah dunia ini.

Sahabat di Kala Suka, sahabat di Kala Duka

"Just Alvin" sebuah reality show yang tayang di Metro TV, malam, hari Kamis 26 Maret 2009 sempat menaruh haru di dalamku. Dikemas dengan tema "We Love You, Gugun," reality show ini juga membuat ruang di benakku untuk berpikir sekaligus merenung. Bagi sebagian orang mungkin acara waktu itu, hanya biasa saja, namun bagiku itu sebuah pembelajaran yang sangat berharga. Pegangan erat dari tangan yang menggenggam, suara merdu yang dinyanyikan, derai air mata yang membasahi pipi, serta begitu besarnya sebuah dukungan, bagiku itu semua terangkum dalam satu kata: SAHABAT.

Seorang Gugun, yang aktif di dunia hiburan tanah air. Siapa yang tidak mengenalnya? Namun naas, beberapa waktu yang lalu, "si Gondrong" ini terkena penyakit yang membuatnya harus bergelut dan hanya rebah tak berdaya di lapisan tempat tidur, berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain. Puji Tuhan!!! Di dalam kemurahan dan kebaikan-Nya, Dia menurunkan hujan di bumi, membuat musim senantiasa berganti dengan teratur dan indah, juga menerbitkan matahari, bahkan bagi orang-orang yang tidak mengenal-Nya. Gugun Gondrong, seorang aktivis dan seniman pun merasakan cicipan kemurahan-Nya, hingga dirinya sembuh. Namun, karena berbagai kompleksitas penyakit yang diderita, hingga menyerang otak, memang Gugun sembuh, namun dia menjadi orang yang sedikit mengalami "gangguan." Khususnya gangguan mental dan beberapa syaraf yang terganggu. Saat melihatnya di layar kaca, bagiku, dia menjadi seperti orang yang linglung dengan tatapan mata yang tak ada arahnya. Huff,...kasihan, dalam hatiku berkata!!

Tapi, ada yang membuatku sedikit "iri." Bukan karena Gugun mempunyai isteri yang cantik, atau tetap bisa masuk TV walaupun keadaan dirinya sudah tidak lagi bisa "menjual." Tetapi, SAHABAT!! Sahabat yang memberikan dukungan kepada Gugun, supaya dia kembali normal. Sahabat yang ada dalam kehidupan Gugun baik waktu dia sehat dan baik, ataupun sekarang pada saat dia "normal." Kesetiaan sang isteri yang mendampinginya terus membuat Gugun terus bisa bertahan dan bersemangat, ditambah lagi bonus dari Yang Mahakuasa, yaitu jabang bayi yang sedang dikandung oleh Ana, sang isteri. Ada suara serak nan centil dari mama Ina (Vina Panduwinata) yang pada saat itu menyanyikan lagu favorit Gugun, ada presenter Riko Ceper yang menjadi sobat karibnya, hingga penyanyi "jadul" Tito Sumarsono yang kesemuanya memberikan semangat dan dukungan kepada Gugun. Sahabat,...oh...sahabat!!!

Di dalam kesendirianku, saat menjalani masa magangku di ibu kota Jawa Tengah ini, membuatku sempat meneteskan air mata kala melihat tayangan "We Love You, Gugun," di layar kaca. Bukan hanya karena rasa kasihan, namun sembari berkaca, adakah aku mempunyai sahabat di sini? Atau adakah aku bisa menjadi sahabat bagi orang-orang yang mungkin seperti Gugun, bahkan tidak lagi mengenalku? Aku sangat merindukan, orang-orang yang telah mengenal Kristus, yang sudah diberi-Nya status: sahabat-sahabat Kristus, bisa benar-benar hidup di dalam status itu. Sedih rasanya mendengar gereja yang tidak bisa saling mendukung satu dengan yang lainnya sebagai rekan atau sahabat. Pilu rasanya melihat komunita yang mengaku tubuh Kritus, tetapi tidak saling mengenal sesama anggotanya. Perih rasanya, justru teman yang harusnya bisa bergandengan tangan malah main lewat belakang. Huff...adakah aku mempunyai hati seorang sahabat, seperti Kristus? Yang bukan hanya memanjakan, namun juga bisa menjadi partner, mengasihi, namun juga terbuka serta menegur dengan kelembutan hati. Hai, sobat!! Adakah engkau mempunyai sahabat di dalam kehidupanmu? Jikalau tidak, mulailah untuk menjadi sahabat bagi yang lain, supaya pada akhirnya dunia tahu, kalau kita adalah murid Kristus, yaitu saat kita saling mengasihi. Itu berarti menjadi sahabat bagi yang lain, memberikan tangan, memberikan telinga, memberikan suara, hingga memberikan air mata, bahkan hidup kita. Karena Dia, Kristus, telah menjadi sahabat yang penuh kasih, dengan memberikan nyawa-Nya untuk kita, sahabat-sahabat-Nya.

Sebuah refleksi singkat dariku...sobat
GBU all!

Tuesday, March 17, 2009

Loving God III

Charles Colson, Loving God (Mengasihi Allah). Pionir Jaya: Bandung, 2008. 307 hal.

Pertanyaan yang dimunculkan oleh Chuck, begitulah Charles Colson dipanggil ditujukan kepada orang percaya perseorangan dan kepada gereja, yaitu: apakah kita memandang iman kita sebagai filsafat yang luar biasa atau kebenaran yang hidup? Suatu teori abstrak, dan terkadang akademis, atau suatu Pribadi hidup yang layak menerima penyerahan hidup kita? Kita hanya akan menjadi orang percaya yang lemah dan tertatih serta gereja yang pincang kecuali, dan sampai, kita betul-betul menerapkan Firman Allah—yakni sampai kita betul-betul mengasihi Dia dan bertindak berdasarkan kasih itu (h. 15-17). Intisari introduksi yang mendesak Chuck untuk menulis buku ini, yaitu ajaran tentang kekudusan Allah dan hasratnya untuk hidup sebagai murid, untuk mengasihi Allah.
Chuck membagi bukunya menjadi lima bagian yang besar, yang masing-masing bagiannya dijabarkan menjadi beberapa sub lagi. Di bagian pertama, Chuck memulai dengan apa artinya dan bagaimana ketaatan itu. Penjara, merupakan terminologi, bahkan sebuah tempat yang tak asing lagi baginya. Justru di tempat yang berjeruji inilah, Chuck belajar dan semakin mengenal Allahnya. Bui, adalah tempat di mana Chuck bertemu dengan orang-orang yang garang, dengan lengan yang besar dan berotot, serta tatapan menantang. Sam Casalvera, salah satu orangnya, di mana dia menerima hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat. Bukan hanya pribadi yang terkesan “kasar” yang dijumpai oleh Chuck, tetapi juga seorang dokter. Boris Kornfeld, seorang Yahudi yang mau “turun” hingga ke penjara Serbia kepada seorang narapidana bernama Alexander Solzhenitsyn. Hingga akhirnya terjadi “transfusi rohani”—hidup yang diambil dari satu orang dan dipompa masuk ke dalam orang lain untuk menggenapi tujuan Allah yang berdaulat (h. 33). Dia menuliskan, bahwa yang penting adalah bukan apa yang kita lakukan, tetapi apa yang dipilih untuk dilakukan melalui kita oleh Tuhan yang berdaulat. Allah tidak menginginkan sukses kita; Ia menginginkan kita. Ia tidak menuntut pencapaian-pencapaian kita; Ia menuntut ketaatan kita. Kerajaan Allah adalah kerajaan paradoks: lewat kekalahan payah di kayu salib, Tuhan yang kudus benar-benar dimuliakan. Kemenangan datang lewat kekalahan; kesembuhan lewat kehancuran; penemuan diri lewat kehilangan diri (h. 23). Yang dituntut Allah dari kita adalah ketaatan, ketaatan yang mantap dalam iman, yaitu menerima sepenuhnya kepada otoritas Yesus (h.34, 35). Iman yang menyelamatkan—yang membenarkan kita, menjadikan kita benar di hadapan Allah—adalah karunia Allah. Dan iman yang mendewasa—mendalam dan bertumbuh—bukan sekadar pengetahuan, tetapi pengetahuan yang ditindaklanjuti, sebuah kepercayaan yang dihidupi—dipraktikkan. Di situlah ketaatan masuk. Inilah awal mengasihi Allah; yaitu dengan hasrat yang penuh untuk menaati dan menyenangkan-Nya, sebuah disiplin dengan kerelaan hati. Karena itu, semuanya diawali dari satu tempat saja: Kitab Suci—untuk mengetahui dan menaati Firman Allah.
Bagian besar kedua yang ingin disampaikan Chuck, yaitu Firman Allah. Diawali dengan kesaksian hidup Aurelius Agustinus hingga akhirnya ditutup dengan berbagai pembuktian otoritas Alkitab sampai kita dapat mempercayainya, Chuck dengan begitu lugas memaparkannya. Dengan sangat yakin, Chuck menuliskan bahwa Alkitab bukanlah buku biasa, Alkitab adalah Firman Allah; Yesus mempercayakan hidup-Nya kepada Kitab Suci, berserah kepada otoritas Kitab Suci; dan Yesus sendiri pun percaya bahwa Firman Allah tidak dapat salah dan tidak keliru (h. 69). Bagaimana mungkin kita, yang mengaku mengikut Dia, berbuat lain? Bukan hanya itu, Chuck menambahkan dengan jawaban dari beberapa pertanyaan mengenai Alkitab (dituliskan olehnya enam pertanyaan; h. 73-74) sampai kepada bagaimana kita, sebagai orang percaya, percaya akan, taat dan berarti tunduk kepada Firman Allah. Firman Allah kita baca, karena apa yang diajarkannya kepada kita untuk diperbuat bagi Tuhan kita. Dan betapa mustahilnya mengasihi Allah dengan ketaatan yang dimulai dari Firman Allah tanpa pertobatan sejati.
Dosa dan pertobatan menjadi bagian besar yang ketiga, dari tulisan Chuck. Mengutip pernyataan R.C. Sproul—kita bukan orang berdosa karena kita berdosa; kita berdosa karena kita orang berdosa—Chuck menjelaskan dengan begitu detail dengan “sentuhan” yang dalam tentang keberdosaan kita dan betapa kita butuh kasih Allah melalui pintu pertobatan sejati. Diawali dari sub judul, beserta dengan cerita di dalamnya, Chuck berusaha menggelitik dan memusatkan perhatian kita dengan sebuah pertanyaan, “Ada bintang film Kristen, atlet Kristen, usahawan Kristen, lalu apa masalahnya menjadi bandit Kristen?” Ironi zaman yang seakan makin “mengemas” dosa dengan begitu rapi nan indah, disingkapkan dengan sangat lugas oleh Chuck, melalui urgensi dari pertobatan dari dosa itu sendiri. Pertama, bahwa seakan penginjilan modern sekarang bukanlah berupa seruan pertobatan dari dosa, namun sebagai ajang “pendaftaran.” Kedua, sering kali kita sama sekali tidak rela atau tidak mampu menerima kenyataan dosa pribadi; sebab itu kita tidak bisa menerima bahwa kita memerlukan pertobatan. Ketiga, budaya kita saat ini telah meniadakan dosa, sehingga pertobatan hanya dipahami secara dangkal (h. 97-99). “Apa yang terjadi dengan dosa?” tanya Chuck. Jawabannya terdapat dalam setiap kita, tetapi untuk menemukanya kita harus berhadapan langsung dengan siapa diri kita sesungguhnya, diri yang tersembunyi, terkubur dalam-dalam di hati kita. Berhadapan dengan diri yang sesungguhnya adalah suatu penemuan yang mengerikan akan dosa, itulah sebabnya dibutuhkan pertobatan (h. 100). Lebih dari sekadar pencambukan diri, lebih dari sekadar penyesalan, duka yang mendalam atas dosa-dosa di masa lalu. Pertobatan menuntut perubahan hebat dalam pikiran, hati, dan hidup, yang dikerjakan Roh Allah; hal ini menuntut penyerahan diri total.
Melalui paparan imajiner dari kisah penyaliban, Chuck berhasil membangkitkan kesadaran kita akan dosa dan kebutuhan kita akan anugerah dan kasih Allah. Hingga kita bisa menerima-Nya dan pada akhirnya menaikkan ungkapan syukur yang begitu luar biasa kepada Allah, atas karya Kristus di kayu salib. Bagaimana kita mengungkapakan rasa syukur itu? Tanggapan yang mungkin terhadap kasih karunia Allah dalam diri Yesus, di tengah ucapan syukur kita adalah dengan hidup kudus—kekudusan. Hidup kudus adalah mengasihi Allah (h. 129). Kekudusan, inilah bagian keempat dan kelima dari tulisan Chuck. Kalau dosa, menurut pengakuan Westminster, adalah “kekurangan apa pun untuk menyesuaikan diri dengan, atau pelanggaran terhadap, hukum Allah.” Jadi, kekudusan adalah lawannya: “penyesuaian diri dengan karakter Allah dan ketaatan kepada kehendak Allah.” (h. 133) Kekudusan, harus menjadi urusan sehari-hari, tulisnya. Jalan kekudusan pribadi boleh jadi sukar, tetapi merintis jalur kudus di tengah masyarakat menghadapkan kita langsung dengan harga pemuridan. Artinya membuat pertimbangan moral berdasarkan patokan Allah, bukan patokan manusia (h. 152). Hanya karena sesuatu itu legal tidak menjadikannya benar. Kehendak mayoritas pun tidak boleh dikacaukan dengan kehendak Allah. Keduanya mungkin sangat berbeda. Sebetulnya, seringkali begitu (h. 153). Kekudusan berarti contra mondum, yaitu melawan dunia. Chuck memulainya denga menjadi lapar akan kekudusan (bag. 4) hingga akhirnya menuliskan mengenai identitas sebagai bangsa yang kudus (bag. 5). Pada bagian kelima, Chuck lebih menyoroti akan identitas dan esensi dari keberadaan gereja Tuhan di mana di dalamnya berkumpul semua orang yang dikuduskan, yang harus hadir di tengah dunia ini.
Demikianlah gereja Yesus Kristus itu vital, hidup, dan mengubah dunia—di mana pun orang percaya secara perseorangan menaati-Nya, menghidupi firman-Nya, dan mengasihi Dia (h. 223). Bagian kelima, dan terakhir dituliskan Chuck, yaitu mengasihi Allah.
Baca ya, buku ini! Beneran deh! Bagus banget! GBU!

Monday, February 23, 2009

Share aja ttg Pelayanan Anak yg jd Kenangan Tersendiri

Dalamnya kasih-Mu. . .

Ketika mendengar suara anak-anak yang berisik, canda tawa mereka yang mengganggu, dan melihat "pergerakan" mereka yang lincah, menggelikan namun juga mengusik jalannya ibadah, saya sangat tidak senang.
Demikian juga ketika ada anak kecil yang maen ke rumah, saya yang pasti paling tidak bisa untuk ngemong anak ini, pastinya karena kekakuan saya dan rasa antipati saya kepada anak.
Hal yang membuat saya teringat sekali adalah ketika saya untuk pertama kalinya diajak pelayanan SM di salah satu pos SM GKI Coyudan. Pada waktu itu, saya baru saja mulai belajar bermain gitar. Karena ada yang mengetahui saya sedikit bisa bermain saya diajak untuk menjadi gitaris di pos SM tersebut. Saya mengiyakannya. Namun, karena saya masih amatiran dan pembelajar baru dalam bermain gitar, permainan saya sungguh kacau balau, dan di saat itu pula ada anak SM yang mengejek saya. Intinya dia berkata, "Kalau ga bisa main gitar, ga usah ngiringi!" Oouucchhh.... sejak saat itu saya tidak mau lagi kalau diajak untuk jadi gitaris di SM.

Hal ini semua adalah gambaran diri sebelum menjalani panggilan menjadi hamba Tuhan (sebelum masuk ke sekolah teologi)

Cerita mulai berbelok, ketika saya masuk ke sekolah teologi dan diwajibkan untuk terlibat secara langsung ke pelayanan anak selama tingkat 1 dan 2. Pikir saya, "Aduh, suatu hal yang mustahil! Saya sangat kaku dengan anak-anak, dan saya tidak suka dengan tingkah laku anak-anak yang mengganggu, serta saya punya 'pengalaman kecil' (di atas) yang mengganggu saya!" Bagaimana pun, mau tidak mau, saya harus menjalani 2 tahun pelayanan anak.

Pelayanan anak pun dimulai . . .
Minggu-minggu awal saya merasa tidak bisa, bahkan ketika anak-anak juga membandingkan saya dengan kakak tingkat yang mengajar, saya berpikir, "Kalau seperti ini saya merasa semakin tidak bisa, dan saya selalu kalah dengan kakak tingkat yang jadi idola anak-anak SM itu." Saya berjuang, lewat pertoongan dari TUHAN, DIA mengajarkan kepada saya bahwa anak-anak sangat berharga di hadapan-Nya dan saya juga harus melayani dengan segenap hati.
Mulai dari hal inilah saya belajar untuk mulai mengasihi anak-anak. Di tahun pertama, saya mengajar kelas tengah (usia 3-4 SD). Dengan anak-anak yang sangat aktif bahkan seringkali berlebihan, awalnya saya kesulitan, tapi saya coba belajar mencintai. Mencoba mengerti dunia mereka, memahami latar belakang keluarga mereka, belajar menjadi gembala bagi "domba-domba kecil" ini bukanlah hal yang mudah.
Saya belajar untuk menjadi diri saya dengan terbuka terhadap mereka, menyembunyikan "urat malu" saya di hadapan mereka untuk belajar bercerita. belajar mendoakan nama mereka satu per satu di dalam doa pribadi saya. Ini semua bukanlah perkara mudah, mengingat saya juga adalah orang yang sangat cuek. Puji Tuhan, di tahun pertama saya bisa melewatinya dengan segala perjuangan untuk mencintai anak-anak.

Tahun kedua, . . .
Tahun yang membuat saya benar-benar jatuh cinta, yaitu saat saya mengajar seorang anak balita.
Anak balita yang begitu luar biasa, namanya Rivan. Rivan anak yang "liar" dibandingkan anak seusianya. Mulutnya penuh dengan omongan kotor, tangannya tak segan-segan untuk memukul temannya yang lain, bahkan yang lebih tua, energi anak ini seraa tidak pernah habis. Saya benar-benar bingung untuk menghadapinya, tetapi Rivan, si balita luar biasa ini sangat saya sayangi. Berulang kali saya pernah berantem dengan Rivan, dia pernah memukul saya hingga kacamata saya terlempar, untung tidak pecah. Dia selalu membuat saya jengkel dan dengan omongan kotornya dia ingin menunjukan diri bahwa dia adalah seorang "jagoan." Berat,. . . berat dan berat bagi saya. Di sinilah saya diuji, di sinilah saya semakin mengerti akan makna kasih yang sebenarnya. Saya belajar mengantar jemput dia, menjenguk keluarganya yang juga cukup amburadul. Tapi Tuhan meyakinkan saya, bahwa kasih-Nya tidak pernah kurang untuk bisa mengubah seseorang, bahkan anak kecil yang masih ingusan yang bernama Rivan. Kasih-Nya nyata, kuasa-Nya ditunjukkan, dan kebenaran-Nya dibukakan. Ada perubahan di dalam anak ini.
Suatu kali, saat saya mengantar dia pulang, hari itu, Rivan memegang tangan saya erat-erat, lebih erat adri biasanya. Saya senang sebagai manusia! Tetapi yang membuat saya lebih berbahagia lagi dan memuji Tuhan adalah saat saya sampai di rumah dan mempertemukan Rivan dengan orang tuanya. Saya langsung pamitan pulang waktu itu. Menuruni beberapa tangga di sekitar rumah sempit yang mpet-mpetan tiba-tiba beberapa detik berselang ada suara kecil yang keras berteriak dengan kepala kecil yang berusaha nongol karena tertutup genting rumah depan tetangganya, Rivan berkata, "Kak, Nael da . . . dah..!!! Ati-ati ya . . .!!" Mulut yang biasanya digunakan untuk omong kotor dan tangan yang biasanya digunakan untuk memukul orang lain, saat itu tergambar indah di dalam sapaan hangat seorang Rivan kecil sambil melambaikan tangannya ke arah saya.
Saya sangat terharu! Saya begitu bersyukur kepada Tuhan! Saya semakin jatuh cinta kepada Tuhan, semakin jatuh cinta kepada anak-anak yang Tuhan percayakan untuk saya layani.

Dua tahun yang singkat, kalau saya pikir hari ini. Tetapi dua tahun pertama yang memberikan kesan yang begitu mendalam bagi saya di dalam melayani Tuhan melalui anak-anak SM yang saya ajar, bersama dengan rekan mahasiswa yang lain. elalui hal inilah saya belajar kasi TUHAN yang sanggup menembus kekerasan macam apa pun, yang sanggup memberikan bau yang harum di dalam kebusukan apa pun, dan yang sanggup membalut dan memulihkan luka sedalam dan sesakit apa pun dalam diri seseorang, bahkan seorang balita bernama Rivan. Tuhan telah mengubah cara pandang dan bagaimana saya harus mengasihi. Tuhan juga terus merajut kehidupan Rivan hingga bertumbuh di dalam Dia.

Ini sekelumit kisah cinta Tuhan kepada saya atau kepada Rivan dan kepada kita semua . . .
Semoga menjadi berkat!

"Van, di mana pu kamu berada sekarang, Kak Nael berdoa supaya kamu bertumbuh menjadi anak yang cinta Tuhan dan selalu berjuang untuk menjalani kehidupan bersama dengan Tuhan Yesus!" Kak Nael sayang Rivan! Tapi Tuhan Yesus jauh lebih sayang Rivan!"

Tuhan memberkati!
"Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, . . ." Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka. (Mrk. 10:14,16)

Saturday, February 21, 2009

Melalaikan yang Terutama

Kapan seseorang melalaikan sesuatu di dalam kehidupannya...?
Di saat dia bersemangat?
Di saat dia menghadapai tantangan?
Di saat seseorang sedang dalam kesedihan dan gundah gulana?
Atau justru di saat seseorang sedang dalam keadaan yang paling baik di dalam kehidupannya?

Di usia berapakah seseorang bisa melalaikan sesuatu dalam kehidupannya?
Di usia belia, atau anak-anak?
Di usia remaja dan pemuda?
Di usia dewasa?
Atau di usia di mana tangan ini sudah mulai bergetar dan tubuh ini tak kuat lagi berjalan?

Kapan pun dan di dalam usia berapa pun, seseorang bisa saja melalaikan sesuatu di dalam kehidupannya. Penulis sangat terkejut dan ditempelak kembali saat KEDUA BELAS rasul berkata, "Kami tidak merasa puas (it would not be right) karena kami melalaikan (neglect) Firman Allah untuk melayani meja."
Penulis merasa di dalam kehidupan saat ini, di mana pekerjaan pelayanan begitu "menghantui" penulis justru melalaikan yang terpenting, yaitu firman Allah.

Apa yang membuat penulis seperti ini? Di saat banyak pikiran dan pekerjaan yang harus diputuskan dan diselesaikan, justru firman itu tidak dijadikan tuntunan dan pedoman yang pasti.
Penulis sedang dalam keadaan yang cukup "sekarat" saat ini untuk terus berjuang di dalam menikmati firman Allah. Firman yang indah, firman yang hidup.

Hufff. . . tidak menjadi jaminan ketika empat tahun penuh, kepala ini diisi dengan banyak hal yang dipelajari bersama di sebuah tempat "penggojlogan" para pekerja Kristus.

Gusti....gusti Yesus!!! Kawula nyuwun kakiyatan dumateng ngarsanipun Paduka! Mugi sabda Pangandika saged maringi kabingahan lan ayem tentremipun manah kawula punika!!
Kawula nyuwun sanget ing ngarsanipun Gusti Pangeran ingkang Mahakuwaos!!!

. . . . . . . di dalam kebingungan yang dalam, curahan hati ini tergoreskan. . . . . . . . .

Friday, February 13, 2009

Cerita Kita, Cerita Cinta


Sekadar coretan . . .

Bukannya mau "mensakralkan" tanggal 14 Februari sebagai hari yang begitu penting.
Terlepas dari pro dan kontra dan latar belakang yang tak berujung mengenai hari ini, satu hal yang mengingatkan saya adalah bahwa kehidupan saya merupakan rangkaian kisah cinta.
Bukan semata kisah cinta dari sepasang manusia yang akhirnya melahirkan saya. Namun lebih kepada kisah pribadi Bapa yang begitu mengasihi Anak-Nya untuk diberikan bagi saya.

Cerita saya adalah cerita cinta, entahkah 14 Februari ada atau tiada.
Sebuah cerita yang mempunyai babak demi babak yang begitu mengharukan dan mempesona saya. Pribadi dengan tatapan yang lembut, sentuhan yang hangat, namun juga dengan teguran kasih-Nya, menempelak saya bahwa tanpa Dia saya tidak dapat hidup. Bukan seperti sekelumit kalimat "gombal" yang berkata, "aku tidak dapat hidup tanpa-Mu!" Namun sebuah kuasa cinta yang mengalir di balik kalimat, "Aku mau mati untukmu dan kau akan mendapatkan hidup karena-Ku!" Cerita Kita adalah Cerita Cinta

Thursday, January 22, 2009

Tubuh Tak Tampak (LOVING GOD II)

Dari dalam selnya di "Patah Hati" (nama selnya), Howard Rutledge dapat mendengar penjaga berjalan di koridor dan secara metodik membuka kunci pintu-pintu tebal sel yang terbuat dari jati. Rutledge menghitung sampai tiga, dan gilirannya pun tiba. Kunci berputar dan daun pintu terayun membuka. Rutledge berlutut seolah-olah memuja penawannya, dan mengambil kedua mangkuk ransum yang diletakkan di lantai semen kotor di depannya. Setelah menerima makanan itu, ia berdiri dengan penuh perhatian di depan penjaga. Kalau tidak berbuat demikian, ia akan dihukum. Ketika pintu ditutup, selera makannya direnggut oleh satu embusan udara berbau kotoran. Ia duduk di ranjangnya yang berupa lempengan semen dan menaruh satu tangan di atas mangkuk berisi cairan hijau comberan itu supaya lipas tidak masuk di dalamnya. Ketika roti keras dikunyahnya, butiran pasir yang terpendam dalam adonannya hancur di antara giginya.

Penjaga datang lagi ke pintu dan selesailah waktu makan pertama dari jatah makan Rutledge yang dua kali sehari. Gong berbunyi, menandakan waktu untuk berbaring selama dua jam. Secara berkala seorang penjaga yang berjalan di koridor akan membuka lubang intip di pintu sel untuk memastikan ia sudah menelungkup. Ia tidur-tidur ayam sampai gong berbunyi lagi, kali ini melarang dia berbaring. Sekarang ia harus berdiri atau duduk selama tujuh jam.

Rutledge mendengar siulan lembut dari sel seberang. Itu Harry Jenkins menyiulkan "MAry had a Little Lamb," tanda ia ingin berkomunikasi. Rutledge menumpukan kaki telanjangnya di atas lempeng semen pada kedua sisi selnya dan mendorong badannya naik ke jendela berpalang logam yang ada di atas palang pintu.

"Howard," bisik Jenkins.
"Di sini," bisik Rutledge.
"Aku ingat cerita lain," kata Jenkins cepat.
"Apa itu?"
"Rut dan Naomi. Naomi kehilangan segala yang dimilikinya - suaminya, putra-putranya, dan tanahnya."
"Aku ingat sebagian."
"Rut adalah menantu Naomi. Rut setia kepada Naomi dan tinggal dengannya. Mereka pergi ke negeri asing."
"Apa yang terjadi?" tanya Rutledge.
"Aku tidak ingat."

Seorang yahanan di sel tetangga terbatuk, menandakan bahwa seorang penjaga mendekat. Rutledge turun dari tempat bertenggernya.
Ia mondar-mandir di selnya, memikirkan cerita Jenkins. Ia berusaha mengingat nama orang yang menolong Rut dan Naomi. Tiga jam kemudian ia masih mengulangi cerita itu di dalam pikirannya. Ia telah mendengarnya di Sekolah Minggu sewaktu berusia sepuluh tahun. Ia merenungkan cerita itu sepanjang waktu makan yang kedua dan terakhir hari itu - sup ganggang laut dan lemak perut babi.

"Hannah Hanoi" meletup hidup di pengeras suara pada jam 20.30 malam. Selama setengah jam, dituturkannya cerita propaganda pengantar tidur. Setelah selesai, Rutledge memanjat lagi ke bukaan itu dan berbisik, "Jenkins."
Hening. Kemudian, "Apa?"
"Boas."
"Aku tahu. Aku baru ingat."

Secara berangsur-angsur komunikasi antar tahanan meningkat. Mereka mengarang sandi berdasarkan Sandi Morse dan memakainya untuk berkomunikasi. Mereka berkomunikasi dengan telinga menempel ke dinding dan tubuh terbungkus selimut - kalau mereka mendapat selimut - agar tingkat kegaduhannya tetap rendah. Abjad diterjemahkan jadi 5x5 dot matriks di mana setiap huruf diwakili oleh ketukan vertikal dan horizontal di dinding. Begitu tahanan mengetahui sandi tersebut, ia "masuk jalur." Lewat jarngan ini, mereka saling mengingat dan mengajarkan Kitab Suci serta mengetahui nama dan nomor setiap seri tahanan di blok sel. Mere$ka tahu siapa yang sudah dipindahkan dan siapa yang sedang disiksa; dengan cara ini mereka saling berbagi kesakitan.

Pada Minggu pagi, kalau penjaga memberi mereka peluang, para perwira senior di tiap-tiap blok sel memukul dinding lima kali, memberitahukan para tahanan di sel isolasi dan juga mereka yang punya rekan tahanan bahwa itu waktu ibadah. Tanda itu adalah "panggilan gereja."

Tiap-tiap orang menuturkan Doa Bapa Kami untuk dirinya sendiri atau Mazmur 23 atau Mazmur 100. Kemudian mereka melantunkan himne sunyi dan berdoa secara pribadi.

Seorang tahanan baru dimasukkan dalam sel isolasi di ujung gedung. Tiap-tiap pagi ia menggoncangkan seluruh bangunan dengan berlari di tempat supaya tetap bugar. Setelah orang baru itu diajari sandi ketukan, ia mulai berlari dengan cara yang aneh dan menyentak-nyentak. Tujuh orang di ujung lain blok sel itu memecahkan pesan sang pejoging: "Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Aku melayangkan mataku . . ."

---salah satu kesaksian di buku LOVING GOD---


Nuraniku "diusik" dengan kesaksian Rutledge - Jenkins c.s. di balik jeruji besi.
Tembok yang menaungiku siang dan malam jauh lebih bersih dari penjara mereka. Angin semerbit dari mesin AC yang menempel di ruanganku selalu menyejukkan. Tidak seperti udara apek yang jadi menu harian dipenjara, ditambah bercampurnya bau kotoran, bangkai, dan keringat yang bercampur. Dan di dalam kesumpekan yang begitu luar biasa, mereka sangat . . . dan sangat . . . ingin sekali melekatkan diri dengan firman Tuhan. Alkitab . . . ? Mungkin hanya dipunyai dengan lembar-lembar yang sudah kumel dan tidak utuh. Bisa membaca dengan baik . . .? Belum tentu . . .!!!
Namun,
Rutledge - Jenkins c.s. menemukan harta yang sangat indah dan paling berharga dalam kungkungan bui yang kejam. Firman yang terus dibicarakan satu dengan yang lain. Juga komunitas kecil sorgawi dalam blok-blok sel yang ada.

Huff . . . betapa malunya aku! Mengaku sebagai pelayan Tuhan, pekerja Kristus, yang belajar di tempat yang jauh lebih megah dan terstruktur. Namun, seringkali terpenjara di dalam keengganan dan kemalasan untuk senantiasa lekat dengan firman Sang Khalik.

Ya Allah, biarlah aku terus belajar dan mempunyai hasrat yang dalam yang menghanguskan batinku untuk senantiasa melekat dan selalu berlari kepada firman-Mu. Juga bersemangat untuk menciptakan komunitas sorgawi di mana pun aku Engkau tempatkan.
Amin!

Tuesday, January 20, 2009

Urusan Kekudusan Sehari-hari (LOVING GOD I)

Berpikir kekudusan bukanlah membayangkan orang-orang kudus di masa lalu seperti Fransiskus dari Asisi, atau raksasa iman masa kini seperti Ibu Teresa. Kekudusan bukanlah cagar pribadi milik kelompok elite para martir, mistikus, dan pemenang hadiah Nobel. Kekudusan adalah urusan sehari-hari setiap orang Kristen. Kekudusan menunjukkan diri dalam keputusan-keputusan yang kita ambil dan hal-hal yang kita lakukan, jam demi jam, hari demi hari.

Kekudusan adalah menaati Alah - mengasihi satu sama lain seperti Ia mengasihi kita.

Kekudusan adalah menaati Allah - bahkan ketika hal itu berlawanan dengan kepentingan kita.

Kekudusan adalah menaati Allah - berbagi kasih-Nya, bahkan ketika hal itu tidak nyaman.

Kekudusan adalah menaati Allah - menemukan jalan untuk menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

Kekudusan tidak diraih dengan spekulasi gaib, semangat antusias, atau kecermatan yang tidak pernah diperintahkan; kekudusan diraih dengan berpikir seperti Allah berpikir dan berkehendak seperti Allah berkehendak. Berpikir dan berkehendak adalah proses yang menuntut disiplin dan ketekunan. Diperlukan kasih karunia Allah dan usaha manusia. Memerangi dosa adalah seperti memukul balik serangan gerilya yang terus-menerus. Ini bukan masalah "menang" atau "kalah," lebih tepatnya adalah "taat" atau "tidak taat" dengan firman-Nya (Jerry Bridges; Pursuit of Holiness p.84).

Buku LOVING GOD oleh Charles Colson yang terus "menelanjangi" keberadaan diri saya di hadapan Allah. Saya secara pribadi, saya di tengah para pekerja Kristus, saya di antara anak-anak Tuhan dalam komunitas tubuh Kristus. Mengasihi Allah; terus belajar mengejar kekudusan-Nya.

Terima kasih, Tuhanku! Untuk lembar-demi lembar yang bisa kubaca dan memberkati aku. Untuk mata jasmani dan mata hati yang boleh Engkau "gelisahkan" terus.

Soli Deo Gloria