Tuesday, March 17, 2009

Loving God III

Charles Colson, Loving God (Mengasihi Allah). Pionir Jaya: Bandung, 2008. 307 hal.

Pertanyaan yang dimunculkan oleh Chuck, begitulah Charles Colson dipanggil ditujukan kepada orang percaya perseorangan dan kepada gereja, yaitu: apakah kita memandang iman kita sebagai filsafat yang luar biasa atau kebenaran yang hidup? Suatu teori abstrak, dan terkadang akademis, atau suatu Pribadi hidup yang layak menerima penyerahan hidup kita? Kita hanya akan menjadi orang percaya yang lemah dan tertatih serta gereja yang pincang kecuali, dan sampai, kita betul-betul menerapkan Firman Allah—yakni sampai kita betul-betul mengasihi Dia dan bertindak berdasarkan kasih itu (h. 15-17). Intisari introduksi yang mendesak Chuck untuk menulis buku ini, yaitu ajaran tentang kekudusan Allah dan hasratnya untuk hidup sebagai murid, untuk mengasihi Allah.
Chuck membagi bukunya menjadi lima bagian yang besar, yang masing-masing bagiannya dijabarkan menjadi beberapa sub lagi. Di bagian pertama, Chuck memulai dengan apa artinya dan bagaimana ketaatan itu. Penjara, merupakan terminologi, bahkan sebuah tempat yang tak asing lagi baginya. Justru di tempat yang berjeruji inilah, Chuck belajar dan semakin mengenal Allahnya. Bui, adalah tempat di mana Chuck bertemu dengan orang-orang yang garang, dengan lengan yang besar dan berotot, serta tatapan menantang. Sam Casalvera, salah satu orangnya, di mana dia menerima hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat. Bukan hanya pribadi yang terkesan “kasar” yang dijumpai oleh Chuck, tetapi juga seorang dokter. Boris Kornfeld, seorang Yahudi yang mau “turun” hingga ke penjara Serbia kepada seorang narapidana bernama Alexander Solzhenitsyn. Hingga akhirnya terjadi “transfusi rohani”—hidup yang diambil dari satu orang dan dipompa masuk ke dalam orang lain untuk menggenapi tujuan Allah yang berdaulat (h. 33). Dia menuliskan, bahwa yang penting adalah bukan apa yang kita lakukan, tetapi apa yang dipilih untuk dilakukan melalui kita oleh Tuhan yang berdaulat. Allah tidak menginginkan sukses kita; Ia menginginkan kita. Ia tidak menuntut pencapaian-pencapaian kita; Ia menuntut ketaatan kita. Kerajaan Allah adalah kerajaan paradoks: lewat kekalahan payah di kayu salib, Tuhan yang kudus benar-benar dimuliakan. Kemenangan datang lewat kekalahan; kesembuhan lewat kehancuran; penemuan diri lewat kehilangan diri (h. 23). Yang dituntut Allah dari kita adalah ketaatan, ketaatan yang mantap dalam iman, yaitu menerima sepenuhnya kepada otoritas Yesus (h.34, 35). Iman yang menyelamatkan—yang membenarkan kita, menjadikan kita benar di hadapan Allah—adalah karunia Allah. Dan iman yang mendewasa—mendalam dan bertumbuh—bukan sekadar pengetahuan, tetapi pengetahuan yang ditindaklanjuti, sebuah kepercayaan yang dihidupi—dipraktikkan. Di situlah ketaatan masuk. Inilah awal mengasihi Allah; yaitu dengan hasrat yang penuh untuk menaati dan menyenangkan-Nya, sebuah disiplin dengan kerelaan hati. Karena itu, semuanya diawali dari satu tempat saja: Kitab Suci—untuk mengetahui dan menaati Firman Allah.
Bagian besar kedua yang ingin disampaikan Chuck, yaitu Firman Allah. Diawali dengan kesaksian hidup Aurelius Agustinus hingga akhirnya ditutup dengan berbagai pembuktian otoritas Alkitab sampai kita dapat mempercayainya, Chuck dengan begitu lugas memaparkannya. Dengan sangat yakin, Chuck menuliskan bahwa Alkitab bukanlah buku biasa, Alkitab adalah Firman Allah; Yesus mempercayakan hidup-Nya kepada Kitab Suci, berserah kepada otoritas Kitab Suci; dan Yesus sendiri pun percaya bahwa Firman Allah tidak dapat salah dan tidak keliru (h. 69). Bagaimana mungkin kita, yang mengaku mengikut Dia, berbuat lain? Bukan hanya itu, Chuck menambahkan dengan jawaban dari beberapa pertanyaan mengenai Alkitab (dituliskan olehnya enam pertanyaan; h. 73-74) sampai kepada bagaimana kita, sebagai orang percaya, percaya akan, taat dan berarti tunduk kepada Firman Allah. Firman Allah kita baca, karena apa yang diajarkannya kepada kita untuk diperbuat bagi Tuhan kita. Dan betapa mustahilnya mengasihi Allah dengan ketaatan yang dimulai dari Firman Allah tanpa pertobatan sejati.
Dosa dan pertobatan menjadi bagian besar yang ketiga, dari tulisan Chuck. Mengutip pernyataan R.C. Sproul—kita bukan orang berdosa karena kita berdosa; kita berdosa karena kita orang berdosa—Chuck menjelaskan dengan begitu detail dengan “sentuhan” yang dalam tentang keberdosaan kita dan betapa kita butuh kasih Allah melalui pintu pertobatan sejati. Diawali dari sub judul, beserta dengan cerita di dalamnya, Chuck berusaha menggelitik dan memusatkan perhatian kita dengan sebuah pertanyaan, “Ada bintang film Kristen, atlet Kristen, usahawan Kristen, lalu apa masalahnya menjadi bandit Kristen?” Ironi zaman yang seakan makin “mengemas” dosa dengan begitu rapi nan indah, disingkapkan dengan sangat lugas oleh Chuck, melalui urgensi dari pertobatan dari dosa itu sendiri. Pertama, bahwa seakan penginjilan modern sekarang bukanlah berupa seruan pertobatan dari dosa, namun sebagai ajang “pendaftaran.” Kedua, sering kali kita sama sekali tidak rela atau tidak mampu menerima kenyataan dosa pribadi; sebab itu kita tidak bisa menerima bahwa kita memerlukan pertobatan. Ketiga, budaya kita saat ini telah meniadakan dosa, sehingga pertobatan hanya dipahami secara dangkal (h. 97-99). “Apa yang terjadi dengan dosa?” tanya Chuck. Jawabannya terdapat dalam setiap kita, tetapi untuk menemukanya kita harus berhadapan langsung dengan siapa diri kita sesungguhnya, diri yang tersembunyi, terkubur dalam-dalam di hati kita. Berhadapan dengan diri yang sesungguhnya adalah suatu penemuan yang mengerikan akan dosa, itulah sebabnya dibutuhkan pertobatan (h. 100). Lebih dari sekadar pencambukan diri, lebih dari sekadar penyesalan, duka yang mendalam atas dosa-dosa di masa lalu. Pertobatan menuntut perubahan hebat dalam pikiran, hati, dan hidup, yang dikerjakan Roh Allah; hal ini menuntut penyerahan diri total.
Melalui paparan imajiner dari kisah penyaliban, Chuck berhasil membangkitkan kesadaran kita akan dosa dan kebutuhan kita akan anugerah dan kasih Allah. Hingga kita bisa menerima-Nya dan pada akhirnya menaikkan ungkapan syukur yang begitu luar biasa kepada Allah, atas karya Kristus di kayu salib. Bagaimana kita mengungkapakan rasa syukur itu? Tanggapan yang mungkin terhadap kasih karunia Allah dalam diri Yesus, di tengah ucapan syukur kita adalah dengan hidup kudus—kekudusan. Hidup kudus adalah mengasihi Allah (h. 129). Kekudusan, inilah bagian keempat dan kelima dari tulisan Chuck. Kalau dosa, menurut pengakuan Westminster, adalah “kekurangan apa pun untuk menyesuaikan diri dengan, atau pelanggaran terhadap, hukum Allah.” Jadi, kekudusan adalah lawannya: “penyesuaian diri dengan karakter Allah dan ketaatan kepada kehendak Allah.” (h. 133) Kekudusan, harus menjadi urusan sehari-hari, tulisnya. Jalan kekudusan pribadi boleh jadi sukar, tetapi merintis jalur kudus di tengah masyarakat menghadapkan kita langsung dengan harga pemuridan. Artinya membuat pertimbangan moral berdasarkan patokan Allah, bukan patokan manusia (h. 152). Hanya karena sesuatu itu legal tidak menjadikannya benar. Kehendak mayoritas pun tidak boleh dikacaukan dengan kehendak Allah. Keduanya mungkin sangat berbeda. Sebetulnya, seringkali begitu (h. 153). Kekudusan berarti contra mondum, yaitu melawan dunia. Chuck memulainya denga menjadi lapar akan kekudusan (bag. 4) hingga akhirnya menuliskan mengenai identitas sebagai bangsa yang kudus (bag. 5). Pada bagian kelima, Chuck lebih menyoroti akan identitas dan esensi dari keberadaan gereja Tuhan di mana di dalamnya berkumpul semua orang yang dikuduskan, yang harus hadir di tengah dunia ini.
Demikianlah gereja Yesus Kristus itu vital, hidup, dan mengubah dunia—di mana pun orang percaya secara perseorangan menaati-Nya, menghidupi firman-Nya, dan mengasihi Dia (h. 223). Bagian kelima, dan terakhir dituliskan Chuck, yaitu mengasihi Allah.
Baca ya, buku ini! Beneran deh! Bagus banget! GBU!

No comments:

Post a Comment