Sunday, March 29, 2009

Di mana Keteladananmu?

"Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu." (1Tim. 4:12)

29 April 2000, di dalam sebuah acara KKR anak muda yang diadakan di salah satu gereja presbyterian di Solo, saya bertobat. Percaya kepada Tuhan Yesus dan menerimanya menjadi Tuhan dan Juruselamat. Saya mengakui dosa, berdoa dan meminta Yesus Kristus untuk masuk ke dalam hidup dan hati saya serta mengubahkannya.

Selang setahun kurang, tepatnya 8 April 2001, saya mengaku percaya di hadapan jemaat Tuhan sebagai saksinya, setelah mengikuti kelas katekisasi yang ada. Ayat di atas, terus berusaha saya ingat, bahkan saya tulis di lembaran putih terakhir Alkitab saya bagian belakang. Di hari-hari pelayanan saya saat ini, ayat itu terus terngiang-ngiang di dalam pikiran dan hati saya, semakin keras dan semakin keras, bahkan saya merasa semakin berat. Supaya saya menjadi teladan!

Saya boleh saja menjadi hamba Tuhan yang super sibuk melayani, menjadi hamba Tuhan yang super dalam pengetahuan teologi, menjadi hamba Tuhan layaknya superman. Tetapi tanpa keteladanan, di mata Tuhan dan jemaat-Nya saya tidak lagi bisa menjadi kesaksian yang hidup.
Teladan, sesuatu yang nampaknya sederhana memang, tetapi di dalamnya mengandung sesuatu yang sangat luar biasa. Luar biasa berjuang keras untuk menjadi teladan, bahkan dalam hal-hal yang kecil, namun juga akan menjadi luar baisa memberikan kesaksian dan pengaruh bagi setiap orang yang melihat, mendengar dan hidup bersama-sama di dalam pelayanan.

Di dalam perenungan saya, seringkali muncul pertanyaan, "Di mana keteladananmu?" Bukan hanya kepada dan di hadapan umat Tuhan yang adalah orang-orang kunci di gereja, bukan hanya pada saat dilihat oleh orang-orang saja, dan bukan pula hanya sekadar memenuhi '"tuntutan dinas" belaka. Apalagi jika harus menjadi teladan di saat usia ini masih muda. Mungkin. . ., mungkin saja akan lebih "mudah" belajar keteladanan dari seorang yang sudah sepuh, berwibawa dan tentunya sudah banyak makan asam garam kehidupan. Namun rupanya firman Tuhan tidak berkata demikian! Bahkan di dalam kemudaan, saya sebagai pria yang masih "bau kencur" pun, firman-Nya mengatakan jadilah teladan! Sebenarnya bukan "hanya" karena saya menjadi hamba-Nya dan dituntut untuk menjadi contoh, namun juga karena saya adalah anak dan murid-Nya, berarti saya harus hidup seperti Bapa saya dan Guru saya hidup.

Woowww. . .!!! Perkara mudah? Bukan, dalam pikiran saya! Namun, saya harus belajar tekun dan taat, mulai dari yang terkecil, bagaimana saya menjaga integritas kehiduan saya, di hadapan Tuhan dan orang lain. Biarlah ini terus menjadi PR bagi saya, juga bagi kita semua. Rupanya ayat yang diberikan pendeta saya tanggal 8 April 2001 itu tidak salah, tepat, tepat sekali untuk mempersiapkan saya. Medan yang terbuka sudah di depan mata, saya harus terus tekun dan taat, serta bertekad untuk bisa menjadi teladan, bukan semata karena kata dan tuntutan orang, tetapi sesuai dengan standar firman Allah.
"Di mana keteladananmu?" Aku akan berusaha mengerjakannya dengan setia!

Minggu, 29 Maret 2009

Ketika kita mengucapkan kata, "Sampai jumpa lagi!" atau, "Selamat jalan!" apa yang kita rasakan? Apakah rasa sedih yang tak rela melepaskan yang berarti akan kehilangan? Apakah rasa "puas" karena ada kenikmatan tersendiri melihat rival beratnya pergi? Ataukah mungkin bersikap biasa saja bahkan tidak mau tahu? Akan ada banyak reaksi yang muncul dari setiap kita ketika perpisahan itu harus dihadapi di depan mata. Bagi saya perpisahan itu memunculkan sesuatu rasa tersendiri, ya . . . 29 Maret 2009! Dua orang rekan pelayanan telah menyelesaikan tugas pelayanannya di tempat kami bersama-sama melayani, di ibu kota Jawa Tengah ini.

Sebuah nyanyian yang dilantunkan VG Remaja-Madya, tarian yang dikemas dengan style anak muda dengan soundtrack salah satu grup parodi terkenal di Indonesia, menjadi persembahan dari kami, teman-teman kecilmu (Remaja dan Madya). Satu hal yang dipesankan oleh teman-teman dari komisi ini, "Jangan lupakan kami, ya. . .!" Itu menjadi sebuah teriakan kecil dari hati kami, karena apa yang engkau lakukan tergores dengan indah dalam kehidupan kami, anak-anak didikmu.

Bagiku, rekan pelayanan itu sangat penting! Memberikan banyak pelajaran-pelajaran bersama dalam kehidupan. Banyak waktu dilalui bersama: bekerjasama, mendukung, bercanda, bahkan tak luput juga dengan yang namanya curiga dan kesal. Tapi ketika hari itu tiba, hanya satu yang kurasa, . . . SEPI. Seepiii. . .!!!

"Wah bakalan tambah repot nih," suara dalam batinku berkata. Tapi kurikulum pembelajaran yang begitu banyak aku dapatkan dari kedua rekanku ini. Di dalam kesabarannya, di dalam keberanian serta keuletannya, pokoknya. . . banyaklah! Aku hanya bisa mengucapkan selamat kepadamu, rekan-rekanku! Mungkin kita tidak melayani dalam satu area yang sama, tetapi di dalam Kerajaan-Nya, kita terus melayani bersama-sama. Mungkin aku akan semakin kerepotan, bisa jadi, tapi mungkin itu juga bisa menjadi ketakutanku belaka.

Maju terus pantang mundur, buatmu saudaraku dan untukmu saudariku!
Biarlah Tuhan dipermuliakan lewat pelayanan kita bersama di mana pun berada.

Friday, March 27, 2009

Pemuda dan Tantangan Sekularisme

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Rm. 12:2)


Seorang budayawan ternama dalam sebuah diskusi tentang masa depan sekularisme mengatakan, “agama memiliki sembilan nyawa, begitu juga sekularisme.” Bisa dikatakan ungkapan ini merupakan sebuah bentuk optimisme dan juga kritik terhadap dua teori besar yang berkembang selama ini. Yaitu teori pertama yang menyatakan bahwa dunia kita sedang menuju kepada satu titik di mana agama-agama tradisional tidak lagi punya tempat. Masa depan umat manusia adalah masa depan dunia sekular, masa depan sekularisme. Teori kedua adalah respons dari teori pertama itu. Teori ini menyatakan bahwa tesis tentang sekularisasi tak lagi bisa dipertahankan. Dunia kita bukannya sedang mengarah kepada satu titik yang sekular, tapi justru kepada titik di mana agama-agama menjalani kebangkitannya. Terlepas dari kebenaran ungkapan budayawan dan kedua teori di atas, yang seharusnya menjadi pertanyaan bagi kita adalah bagaimana kekristenan berperan? Secara khusus di bulan kaum muda ini adalah, bagaimana peran generasi muda Kristen dalam menghadapi berbagai tantangan sekularisme yang ada?

Sekularisme secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah ideologi yang memperjuangkan bahwa dunia ini punya otonomi sendiri (oto: sendiri; nomos: hukum). Jadi pihak agama jangan pernah ikut campur tangan masalah yang berhubungan dengan hal-hal dunia, misalnya masalah politik dan pemerintahan. Agama seharusnya hanya mengatur masalah hubungan manusia secara pribadi dengan Allah. Itulah sebabnya negara-negara Eropa sangat getol menerapakan sekularisme, karena sebelum masa "Aufklarung" (Pencerahan), dengan ideologi teokrasinya, Gereja dianggap terlalu mengurusi semua bidang kehidupan. Akibatnya Galileo hampir mati konyol karena punya teori yang berbeda dengan pandangan gereja. Jadi pada mulanya, sekularisme dapat dimengerti sebagai reaksi balik atas teokrasi Gereja yang berlebihan.

Namun sekarang sekularisme mengambil wajah yang sangat beragam, yang sangat menarik perhatian, khususnya di dunia generasi muda. Hingga sekarang muncul banyak pertanyaan, “Kenapa anak muda jarang datang ke persekutuan? Apa yang harus kita lakukan?” Pada akhirnya, yang seringkali kita lakukan untuk menghadapi tantangan ini adalah bersaing dengan dunia. Bagaimana caranya? Misalnya: dunia mempunyai bioskop, maka kita juga membuat pertunjukan film. Dunia sering membuat konser musik yang menyita banyak pasang mata, maka kita juga membuat konser musik rohani. Jadi sebenarnya apa yang kita lakukan adalah bersaing dengan dunia. Mungkin kita bisa berhasil dengan membuat suatu acara yang sangat menarik, misalnya membuat suatu pertunjukan kejutan. Namun akhirnya, kita hanya berusaha sampai mati-matian, dengan tak habis-habisnya berpikir bagaimana membuat suatu acara yang lebih menarik dari acara yang sebelumnya, yang sudah menarik itu. Apakah benar demikian?

Seharusnya tidak! Yang perlu dilakukan kaum muda Kristen dalam menghadapi beratnya arus tantangan sekularisme adalah back to basic, yaitu kembali kepada firman Tuhan. Bukan bersaing dengan dunia dan menjadi seolah-olah “serupa” dengan dunia, namun pemuda Kristen harus mengejar Christ Likeness, keserupaan Kristus. Kita tidak mungkin bersaing dengan entertainment yang ditawarkan oleh dunia, maka kita harus kembali kepada apa yang Tuhan ingin kita lakukan di dalam kehidupan. Yaitu berpusat kepada Kristus untuk mewarnai dunia. “Tidak menjadi serupa dengan dunia” tidak dapat diartikan bahwa kaum muda Kristen berarti harus hidup terpisah dengan dunia, yaitu hidup menyendiri tanpa bersinggungan dengan hal-hal yang duniawi. Jelas ini tidak mungkin! Tujuan Allah, melalui Yesus Kristus untuk menebus manusia dari dosa adalah menguduskan (mengkhususkan) setiap orang yang percaya kepada-Nya untuk menjadi serupa dengan Dia bagi (for) dunia, untuk (for) mewarnai dunia, menjadi saksi bagi (for) dunia. Jadi bukan menguduskan dan memisahkannya dari (from) dunia.

Ini adalah PR yang harus kita lakukan sebagai generasi muda Kristen. Bagaimana setiap bagian kegiatan yang ada di gereja adalah untuk mengejar keserupaan dengan Kristus. Bukan sekadar ikut-ikutan dengan apa yang “lagi hot,” yang terjadi di luar sana, namun bagaimana menjadi generasi muda yang tetap memiliki identitas Kristus di tengah dunia ini.

Sahabat di Kala Suka, sahabat di Kala Duka

"Just Alvin" sebuah reality show yang tayang di Metro TV, malam, hari Kamis 26 Maret 2009 sempat menaruh haru di dalamku. Dikemas dengan tema "We Love You, Gugun," reality show ini juga membuat ruang di benakku untuk berpikir sekaligus merenung. Bagi sebagian orang mungkin acara waktu itu, hanya biasa saja, namun bagiku itu sebuah pembelajaran yang sangat berharga. Pegangan erat dari tangan yang menggenggam, suara merdu yang dinyanyikan, derai air mata yang membasahi pipi, serta begitu besarnya sebuah dukungan, bagiku itu semua terangkum dalam satu kata: SAHABAT.

Seorang Gugun, yang aktif di dunia hiburan tanah air. Siapa yang tidak mengenalnya? Namun naas, beberapa waktu yang lalu, "si Gondrong" ini terkena penyakit yang membuatnya harus bergelut dan hanya rebah tak berdaya di lapisan tempat tidur, berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain. Puji Tuhan!!! Di dalam kemurahan dan kebaikan-Nya, Dia menurunkan hujan di bumi, membuat musim senantiasa berganti dengan teratur dan indah, juga menerbitkan matahari, bahkan bagi orang-orang yang tidak mengenal-Nya. Gugun Gondrong, seorang aktivis dan seniman pun merasakan cicipan kemurahan-Nya, hingga dirinya sembuh. Namun, karena berbagai kompleksitas penyakit yang diderita, hingga menyerang otak, memang Gugun sembuh, namun dia menjadi orang yang sedikit mengalami "gangguan." Khususnya gangguan mental dan beberapa syaraf yang terganggu. Saat melihatnya di layar kaca, bagiku, dia menjadi seperti orang yang linglung dengan tatapan mata yang tak ada arahnya. Huff,...kasihan, dalam hatiku berkata!!

Tapi, ada yang membuatku sedikit "iri." Bukan karena Gugun mempunyai isteri yang cantik, atau tetap bisa masuk TV walaupun keadaan dirinya sudah tidak lagi bisa "menjual." Tetapi, SAHABAT!! Sahabat yang memberikan dukungan kepada Gugun, supaya dia kembali normal. Sahabat yang ada dalam kehidupan Gugun baik waktu dia sehat dan baik, ataupun sekarang pada saat dia "normal." Kesetiaan sang isteri yang mendampinginya terus membuat Gugun terus bisa bertahan dan bersemangat, ditambah lagi bonus dari Yang Mahakuasa, yaitu jabang bayi yang sedang dikandung oleh Ana, sang isteri. Ada suara serak nan centil dari mama Ina (Vina Panduwinata) yang pada saat itu menyanyikan lagu favorit Gugun, ada presenter Riko Ceper yang menjadi sobat karibnya, hingga penyanyi "jadul" Tito Sumarsono yang kesemuanya memberikan semangat dan dukungan kepada Gugun. Sahabat,...oh...sahabat!!!

Di dalam kesendirianku, saat menjalani masa magangku di ibu kota Jawa Tengah ini, membuatku sempat meneteskan air mata kala melihat tayangan "We Love You, Gugun," di layar kaca. Bukan hanya karena rasa kasihan, namun sembari berkaca, adakah aku mempunyai sahabat di sini? Atau adakah aku bisa menjadi sahabat bagi orang-orang yang mungkin seperti Gugun, bahkan tidak lagi mengenalku? Aku sangat merindukan, orang-orang yang telah mengenal Kristus, yang sudah diberi-Nya status: sahabat-sahabat Kristus, bisa benar-benar hidup di dalam status itu. Sedih rasanya mendengar gereja yang tidak bisa saling mendukung satu dengan yang lainnya sebagai rekan atau sahabat. Pilu rasanya melihat komunita yang mengaku tubuh Kritus, tetapi tidak saling mengenal sesama anggotanya. Perih rasanya, justru teman yang harusnya bisa bergandengan tangan malah main lewat belakang. Huff...adakah aku mempunyai hati seorang sahabat, seperti Kristus? Yang bukan hanya memanjakan, namun juga bisa menjadi partner, mengasihi, namun juga terbuka serta menegur dengan kelembutan hati. Hai, sobat!! Adakah engkau mempunyai sahabat di dalam kehidupanmu? Jikalau tidak, mulailah untuk menjadi sahabat bagi yang lain, supaya pada akhirnya dunia tahu, kalau kita adalah murid Kristus, yaitu saat kita saling mengasihi. Itu berarti menjadi sahabat bagi yang lain, memberikan tangan, memberikan telinga, memberikan suara, hingga memberikan air mata, bahkan hidup kita. Karena Dia, Kristus, telah menjadi sahabat yang penuh kasih, dengan memberikan nyawa-Nya untuk kita, sahabat-sahabat-Nya.

Sebuah refleksi singkat dariku...sobat
GBU all!

Tuesday, March 17, 2009

Loving God III

Charles Colson, Loving God (Mengasihi Allah). Pionir Jaya: Bandung, 2008. 307 hal.

Pertanyaan yang dimunculkan oleh Chuck, begitulah Charles Colson dipanggil ditujukan kepada orang percaya perseorangan dan kepada gereja, yaitu: apakah kita memandang iman kita sebagai filsafat yang luar biasa atau kebenaran yang hidup? Suatu teori abstrak, dan terkadang akademis, atau suatu Pribadi hidup yang layak menerima penyerahan hidup kita? Kita hanya akan menjadi orang percaya yang lemah dan tertatih serta gereja yang pincang kecuali, dan sampai, kita betul-betul menerapkan Firman Allah—yakni sampai kita betul-betul mengasihi Dia dan bertindak berdasarkan kasih itu (h. 15-17). Intisari introduksi yang mendesak Chuck untuk menulis buku ini, yaitu ajaran tentang kekudusan Allah dan hasratnya untuk hidup sebagai murid, untuk mengasihi Allah.
Chuck membagi bukunya menjadi lima bagian yang besar, yang masing-masing bagiannya dijabarkan menjadi beberapa sub lagi. Di bagian pertama, Chuck memulai dengan apa artinya dan bagaimana ketaatan itu. Penjara, merupakan terminologi, bahkan sebuah tempat yang tak asing lagi baginya. Justru di tempat yang berjeruji inilah, Chuck belajar dan semakin mengenal Allahnya. Bui, adalah tempat di mana Chuck bertemu dengan orang-orang yang garang, dengan lengan yang besar dan berotot, serta tatapan menantang. Sam Casalvera, salah satu orangnya, di mana dia menerima hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat. Bukan hanya pribadi yang terkesan “kasar” yang dijumpai oleh Chuck, tetapi juga seorang dokter. Boris Kornfeld, seorang Yahudi yang mau “turun” hingga ke penjara Serbia kepada seorang narapidana bernama Alexander Solzhenitsyn. Hingga akhirnya terjadi “transfusi rohani”—hidup yang diambil dari satu orang dan dipompa masuk ke dalam orang lain untuk menggenapi tujuan Allah yang berdaulat (h. 33). Dia menuliskan, bahwa yang penting adalah bukan apa yang kita lakukan, tetapi apa yang dipilih untuk dilakukan melalui kita oleh Tuhan yang berdaulat. Allah tidak menginginkan sukses kita; Ia menginginkan kita. Ia tidak menuntut pencapaian-pencapaian kita; Ia menuntut ketaatan kita. Kerajaan Allah adalah kerajaan paradoks: lewat kekalahan payah di kayu salib, Tuhan yang kudus benar-benar dimuliakan. Kemenangan datang lewat kekalahan; kesembuhan lewat kehancuran; penemuan diri lewat kehilangan diri (h. 23). Yang dituntut Allah dari kita adalah ketaatan, ketaatan yang mantap dalam iman, yaitu menerima sepenuhnya kepada otoritas Yesus (h.34, 35). Iman yang menyelamatkan—yang membenarkan kita, menjadikan kita benar di hadapan Allah—adalah karunia Allah. Dan iman yang mendewasa—mendalam dan bertumbuh—bukan sekadar pengetahuan, tetapi pengetahuan yang ditindaklanjuti, sebuah kepercayaan yang dihidupi—dipraktikkan. Di situlah ketaatan masuk. Inilah awal mengasihi Allah; yaitu dengan hasrat yang penuh untuk menaati dan menyenangkan-Nya, sebuah disiplin dengan kerelaan hati. Karena itu, semuanya diawali dari satu tempat saja: Kitab Suci—untuk mengetahui dan menaati Firman Allah.
Bagian besar kedua yang ingin disampaikan Chuck, yaitu Firman Allah. Diawali dengan kesaksian hidup Aurelius Agustinus hingga akhirnya ditutup dengan berbagai pembuktian otoritas Alkitab sampai kita dapat mempercayainya, Chuck dengan begitu lugas memaparkannya. Dengan sangat yakin, Chuck menuliskan bahwa Alkitab bukanlah buku biasa, Alkitab adalah Firman Allah; Yesus mempercayakan hidup-Nya kepada Kitab Suci, berserah kepada otoritas Kitab Suci; dan Yesus sendiri pun percaya bahwa Firman Allah tidak dapat salah dan tidak keliru (h. 69). Bagaimana mungkin kita, yang mengaku mengikut Dia, berbuat lain? Bukan hanya itu, Chuck menambahkan dengan jawaban dari beberapa pertanyaan mengenai Alkitab (dituliskan olehnya enam pertanyaan; h. 73-74) sampai kepada bagaimana kita, sebagai orang percaya, percaya akan, taat dan berarti tunduk kepada Firman Allah. Firman Allah kita baca, karena apa yang diajarkannya kepada kita untuk diperbuat bagi Tuhan kita. Dan betapa mustahilnya mengasihi Allah dengan ketaatan yang dimulai dari Firman Allah tanpa pertobatan sejati.
Dosa dan pertobatan menjadi bagian besar yang ketiga, dari tulisan Chuck. Mengutip pernyataan R.C. Sproul—kita bukan orang berdosa karena kita berdosa; kita berdosa karena kita orang berdosa—Chuck menjelaskan dengan begitu detail dengan “sentuhan” yang dalam tentang keberdosaan kita dan betapa kita butuh kasih Allah melalui pintu pertobatan sejati. Diawali dari sub judul, beserta dengan cerita di dalamnya, Chuck berusaha menggelitik dan memusatkan perhatian kita dengan sebuah pertanyaan, “Ada bintang film Kristen, atlet Kristen, usahawan Kristen, lalu apa masalahnya menjadi bandit Kristen?” Ironi zaman yang seakan makin “mengemas” dosa dengan begitu rapi nan indah, disingkapkan dengan sangat lugas oleh Chuck, melalui urgensi dari pertobatan dari dosa itu sendiri. Pertama, bahwa seakan penginjilan modern sekarang bukanlah berupa seruan pertobatan dari dosa, namun sebagai ajang “pendaftaran.” Kedua, sering kali kita sama sekali tidak rela atau tidak mampu menerima kenyataan dosa pribadi; sebab itu kita tidak bisa menerima bahwa kita memerlukan pertobatan. Ketiga, budaya kita saat ini telah meniadakan dosa, sehingga pertobatan hanya dipahami secara dangkal (h. 97-99). “Apa yang terjadi dengan dosa?” tanya Chuck. Jawabannya terdapat dalam setiap kita, tetapi untuk menemukanya kita harus berhadapan langsung dengan siapa diri kita sesungguhnya, diri yang tersembunyi, terkubur dalam-dalam di hati kita. Berhadapan dengan diri yang sesungguhnya adalah suatu penemuan yang mengerikan akan dosa, itulah sebabnya dibutuhkan pertobatan (h. 100). Lebih dari sekadar pencambukan diri, lebih dari sekadar penyesalan, duka yang mendalam atas dosa-dosa di masa lalu. Pertobatan menuntut perubahan hebat dalam pikiran, hati, dan hidup, yang dikerjakan Roh Allah; hal ini menuntut penyerahan diri total.
Melalui paparan imajiner dari kisah penyaliban, Chuck berhasil membangkitkan kesadaran kita akan dosa dan kebutuhan kita akan anugerah dan kasih Allah. Hingga kita bisa menerima-Nya dan pada akhirnya menaikkan ungkapan syukur yang begitu luar biasa kepada Allah, atas karya Kristus di kayu salib. Bagaimana kita mengungkapakan rasa syukur itu? Tanggapan yang mungkin terhadap kasih karunia Allah dalam diri Yesus, di tengah ucapan syukur kita adalah dengan hidup kudus—kekudusan. Hidup kudus adalah mengasihi Allah (h. 129). Kekudusan, inilah bagian keempat dan kelima dari tulisan Chuck. Kalau dosa, menurut pengakuan Westminster, adalah “kekurangan apa pun untuk menyesuaikan diri dengan, atau pelanggaran terhadap, hukum Allah.” Jadi, kekudusan adalah lawannya: “penyesuaian diri dengan karakter Allah dan ketaatan kepada kehendak Allah.” (h. 133) Kekudusan, harus menjadi urusan sehari-hari, tulisnya. Jalan kekudusan pribadi boleh jadi sukar, tetapi merintis jalur kudus di tengah masyarakat menghadapkan kita langsung dengan harga pemuridan. Artinya membuat pertimbangan moral berdasarkan patokan Allah, bukan patokan manusia (h. 152). Hanya karena sesuatu itu legal tidak menjadikannya benar. Kehendak mayoritas pun tidak boleh dikacaukan dengan kehendak Allah. Keduanya mungkin sangat berbeda. Sebetulnya, seringkali begitu (h. 153). Kekudusan berarti contra mondum, yaitu melawan dunia. Chuck memulainya denga menjadi lapar akan kekudusan (bag. 4) hingga akhirnya menuliskan mengenai identitas sebagai bangsa yang kudus (bag. 5). Pada bagian kelima, Chuck lebih menyoroti akan identitas dan esensi dari keberadaan gereja Tuhan di mana di dalamnya berkumpul semua orang yang dikuduskan, yang harus hadir di tengah dunia ini.
Demikianlah gereja Yesus Kristus itu vital, hidup, dan mengubah dunia—di mana pun orang percaya secara perseorangan menaati-Nya, menghidupi firman-Nya, dan mengasihi Dia (h. 223). Bagian kelima, dan terakhir dituliskan Chuck, yaitu mengasihi Allah.
Baca ya, buku ini! Beneran deh! Bagus banget! GBU!