Dalamnya kasih-Mu. . .
Ketika mendengar suara anak-anak yang berisik, canda tawa mereka yang mengganggu, dan melihat "pergerakan" mereka yang lincah, menggelikan namun juga mengusik jalannya ibadah, saya sangat tidak senang.
Demikian juga ketika ada anak kecil yang maen ke rumah, saya yang pasti paling tidak bisa untuk ngemong anak ini, pastinya karena kekakuan saya dan rasa antipati saya kepada anak.
Hal yang membuat saya teringat sekali adalah ketika saya untuk pertama kalinya diajak pelayanan SM di salah satu pos SM GKI Coyudan. Pada waktu itu, saya baru saja mulai belajar bermain gitar. Karena ada yang mengetahui saya sedikit bisa bermain saya diajak untuk menjadi gitaris di pos SM tersebut. Saya mengiyakannya. Namun, karena saya masih amatiran dan pembelajar baru dalam bermain gitar, permainan saya sungguh kacau balau, dan di saat itu pula ada anak SM yang mengejek saya. Intinya dia berkata, "Kalau ga bisa main gitar, ga usah ngiringi!" Oouucchhh.... sejak saat itu saya tidak mau lagi kalau diajak untuk jadi gitaris di SM.
Hal ini semua adalah gambaran diri sebelum menjalani panggilan menjadi hamba Tuhan (sebelum masuk ke sekolah teologi)
Cerita mulai berbelok, ketika saya masuk ke sekolah teologi dan diwajibkan untuk terlibat secara langsung ke pelayanan anak selama tingkat 1 dan 2. Pikir saya, "Aduh, suatu hal yang mustahil! Saya sangat kaku dengan anak-anak, dan saya tidak suka dengan tingkah laku anak-anak yang mengganggu, serta saya punya 'pengalaman kecil' (di atas) yang mengganggu saya!" Bagaimana pun, mau tidak mau, saya harus menjalani 2 tahun pelayanan anak.
Pelayanan anak pun dimulai . . .
Minggu-minggu awal saya merasa tidak bisa, bahkan ketika anak-anak juga membandingkan saya dengan kakak tingkat yang mengajar, saya berpikir, "Kalau seperti ini saya merasa semakin tidak bisa, dan saya selalu kalah dengan kakak tingkat yang jadi idola anak-anak SM itu." Saya berjuang, lewat pertoongan dari TUHAN, DIA mengajarkan kepada saya bahwa anak-anak sangat berharga di hadapan-Nya dan saya juga harus melayani dengan segenap hati.
Mulai dari hal inilah saya belajar untuk mulai mengasihi anak-anak. Di tahun pertama, saya mengajar kelas tengah (usia 3-4 SD). Dengan anak-anak yang sangat aktif bahkan seringkali berlebihan, awalnya saya kesulitan, tapi saya coba belajar mencintai. Mencoba mengerti dunia mereka, memahami latar belakang keluarga mereka, belajar menjadi gembala bagi "domba-domba kecil" ini bukanlah hal yang mudah.
Saya belajar untuk menjadi diri saya dengan terbuka terhadap mereka, menyembunyikan "urat malu" saya di hadapan mereka untuk belajar bercerita. belajar mendoakan nama mereka satu per satu di dalam doa pribadi saya. Ini semua bukanlah perkara mudah, mengingat saya juga adalah orang yang sangat cuek. Puji Tuhan, di tahun pertama saya bisa melewatinya dengan segala perjuangan untuk mencintai anak-anak.
Tahun kedua, . . .
Tahun yang membuat saya benar-benar jatuh cinta, yaitu saat saya mengajar seorang anak balita.
Anak balita yang begitu luar biasa, namanya Rivan. Rivan anak yang "liar" dibandingkan anak seusianya. Mulutnya penuh dengan omongan kotor, tangannya tak segan-segan untuk memukul temannya yang lain, bahkan yang lebih tua, energi anak ini seraa tidak pernah habis. Saya benar-benar bingung untuk menghadapinya, tetapi Rivan, si balita luar biasa ini sangat saya sayangi. Berulang kali saya pernah berantem dengan Rivan, dia pernah memukul saya hingga kacamata saya terlempar, untung tidak pecah. Dia selalu membuat saya jengkel dan dengan omongan kotornya dia ingin menunjukan diri bahwa dia adalah seorang "jagoan." Berat,. . . berat dan berat bagi saya. Di sinilah saya diuji, di sinilah saya semakin mengerti akan makna kasih yang sebenarnya. Saya belajar mengantar jemput dia, menjenguk keluarganya yang juga cukup amburadul. Tapi Tuhan meyakinkan saya, bahwa kasih-Nya tidak pernah kurang untuk bisa mengubah seseorang, bahkan anak kecil yang masih ingusan yang bernama Rivan. Kasih-Nya nyata, kuasa-Nya ditunjukkan, dan kebenaran-Nya dibukakan. Ada perubahan di dalam anak ini.
Suatu kali, saat saya mengantar dia pulang, hari itu, Rivan memegang tangan saya erat-erat, lebih erat adri biasanya. Saya senang sebagai manusia! Tetapi yang membuat saya lebih berbahagia lagi dan memuji Tuhan adalah saat saya sampai di rumah dan mempertemukan Rivan dengan orang tuanya. Saya langsung pamitan pulang waktu itu. Menuruni beberapa tangga di sekitar rumah sempit yang mpet-mpetan tiba-tiba beberapa detik berselang ada suara kecil yang keras berteriak dengan kepala kecil yang berusaha nongol karena tertutup genting rumah depan tetangganya, Rivan berkata, "Kak, Nael da . . . dah..!!! Ati-ati ya . . .!!" Mulut yang biasanya digunakan untuk omong kotor dan tangan yang biasanya digunakan untuk memukul orang lain, saat itu tergambar indah di dalam sapaan hangat seorang Rivan kecil sambil melambaikan tangannya ke arah saya.
Saya sangat terharu! Saya begitu bersyukur kepada Tuhan! Saya semakin jatuh cinta kepada Tuhan, semakin jatuh cinta kepada anak-anak yang Tuhan percayakan untuk saya layani.
Dua tahun yang singkat, kalau saya pikir hari ini. Tetapi dua tahun pertama yang memberikan kesan yang begitu mendalam bagi saya di dalam melayani Tuhan melalui anak-anak SM yang saya ajar, bersama dengan rekan mahasiswa yang lain. elalui hal inilah saya belajar kasi TUHAN yang sanggup menembus kekerasan macam apa pun, yang sanggup memberikan bau yang harum di dalam kebusukan apa pun, dan yang sanggup membalut dan memulihkan luka sedalam dan sesakit apa pun dalam diri seseorang, bahkan seorang balita bernama Rivan. Tuhan telah mengubah cara pandang dan bagaimana saya harus mengasihi. Tuhan juga terus merajut kehidupan Rivan hingga bertumbuh di dalam Dia.
Ini sekelumit kisah cinta Tuhan kepada saya atau kepada Rivan dan kepada kita semua . . .
Semoga menjadi berkat!
"Van, di mana pu kamu berada sekarang, Kak Nael berdoa supaya kamu bertumbuh menjadi anak yang cinta Tuhan dan selalu berjuang untuk menjalani kehidupan bersama dengan Tuhan Yesus!" Kak Nael sayang Rivan! Tapi Tuhan Yesus jauh lebih sayang Rivan!"
Tuhan memberkati!
"Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, . . ." Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka. (Mrk. 10:14,16)
Monday, February 23, 2009
Saturday, February 21, 2009
Melalaikan yang Terutama
Kapan seseorang melalaikan sesuatu di dalam kehidupannya...?
Di saat dia bersemangat?
Di saat dia menghadapai tantangan?
Di saat seseorang sedang dalam kesedihan dan gundah gulana?
Atau justru di saat seseorang sedang dalam keadaan yang paling baik di dalam kehidupannya?
Di usia berapakah seseorang bisa melalaikan sesuatu dalam kehidupannya?
Di usia belia, atau anak-anak?
Di usia remaja dan pemuda?
Di usia dewasa?
Atau di usia di mana tangan ini sudah mulai bergetar dan tubuh ini tak kuat lagi berjalan?
Kapan pun dan di dalam usia berapa pun, seseorang bisa saja melalaikan sesuatu di dalam kehidupannya. Penulis sangat terkejut dan ditempelak kembali saat KEDUA BELAS rasul berkata, "Kami tidak merasa puas (it would not be right) karena kami melalaikan (neglect) Firman Allah untuk melayani meja."
Penulis merasa di dalam kehidupan saat ini, di mana pekerjaan pelayanan begitu "menghantui" penulis justru melalaikan yang terpenting, yaitu firman Allah.
Apa yang membuat penulis seperti ini? Di saat banyak pikiran dan pekerjaan yang harus diputuskan dan diselesaikan, justru firman itu tidak dijadikan tuntunan dan pedoman yang pasti.
Penulis sedang dalam keadaan yang cukup "sekarat" saat ini untuk terus berjuang di dalam menikmati firman Allah. Firman yang indah, firman yang hidup.
Hufff. . . tidak menjadi jaminan ketika empat tahun penuh, kepala ini diisi dengan banyak hal yang dipelajari bersama di sebuah tempat "penggojlogan" para pekerja Kristus.
Gusti....gusti Yesus!!! Kawula nyuwun kakiyatan dumateng ngarsanipun Paduka! Mugi sabda Pangandika saged maringi kabingahan lan ayem tentremipun manah kawula punika!!
Kawula nyuwun sanget ing ngarsanipun Gusti Pangeran ingkang Mahakuwaos!!!
. . . . . . . di dalam kebingungan yang dalam, curahan hati ini tergoreskan. . . . . . . . .
Di saat dia bersemangat?
Di saat dia menghadapai tantangan?
Di saat seseorang sedang dalam kesedihan dan gundah gulana?
Atau justru di saat seseorang sedang dalam keadaan yang paling baik di dalam kehidupannya?
Di usia berapakah seseorang bisa melalaikan sesuatu dalam kehidupannya?
Di usia belia, atau anak-anak?
Di usia remaja dan pemuda?
Di usia dewasa?
Atau di usia di mana tangan ini sudah mulai bergetar dan tubuh ini tak kuat lagi berjalan?
Kapan pun dan di dalam usia berapa pun, seseorang bisa saja melalaikan sesuatu di dalam kehidupannya. Penulis sangat terkejut dan ditempelak kembali saat KEDUA BELAS rasul berkata, "Kami tidak merasa puas (it would not be right) karena kami melalaikan (neglect) Firman Allah untuk melayani meja."
Penulis merasa di dalam kehidupan saat ini, di mana pekerjaan pelayanan begitu "menghantui" penulis justru melalaikan yang terpenting, yaitu firman Allah.
Apa yang membuat penulis seperti ini? Di saat banyak pikiran dan pekerjaan yang harus diputuskan dan diselesaikan, justru firman itu tidak dijadikan tuntunan dan pedoman yang pasti.
Penulis sedang dalam keadaan yang cukup "sekarat" saat ini untuk terus berjuang di dalam menikmati firman Allah. Firman yang indah, firman yang hidup.
Hufff. . . tidak menjadi jaminan ketika empat tahun penuh, kepala ini diisi dengan banyak hal yang dipelajari bersama di sebuah tempat "penggojlogan" para pekerja Kristus.
Gusti....gusti Yesus!!! Kawula nyuwun kakiyatan dumateng ngarsanipun Paduka! Mugi sabda Pangandika saged maringi kabingahan lan ayem tentremipun manah kawula punika!!
Kawula nyuwun sanget ing ngarsanipun Gusti Pangeran ingkang Mahakuwaos!!!
. . . . . . . di dalam kebingungan yang dalam, curahan hati ini tergoreskan. . . . . . . . .
Friday, February 13, 2009
Cerita Kita, Cerita Cinta
Sekadar coretan . . .
Bukannya mau "mensakralkan" tanggal 14 Februari sebagai hari yang begitu penting.
Terlepas dari pro dan kontra dan latar belakang yang tak berujung mengenai hari ini, satu hal yang mengingatkan saya adalah bahwa kehidupan saya merupakan rangkaian kisah cinta.
Bukan semata kisah cinta dari sepasang manusia yang akhirnya melahirkan saya. Namun lebih kepada kisah pribadi Bapa yang begitu mengasihi Anak-Nya untuk diberikan bagi saya.
Cerita saya adalah cerita cinta, entahkah 14 Februari ada atau tiada.
Sebuah cerita yang mempunyai babak demi babak yang begitu mengharukan dan mempesona saya. Pribadi dengan tatapan yang lembut, sentuhan yang hangat, namun juga dengan teguran kasih-Nya, menempelak saya bahwa tanpa Dia saya tidak dapat hidup. Bukan seperti sekelumit kalimat "gombal" yang berkata, "aku tidak dapat hidup tanpa-Mu!" Namun sebuah kuasa cinta yang mengalir di balik kalimat, "Aku mau mati untukmu dan kau akan mendapatkan hidup karena-Ku!" Cerita Kita adalah Cerita Cinta
Subscribe to:
Posts (Atom)